Makalah
HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK
Di susun oleh :
Fitriana Setya Kusumaningrum
12210854
2EA19
FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN S1-MANAJEMEN
UNIVERSITAS GUNADARMA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan kas Negara yang digunakan untuk pembangunan dengan tujuan akhir kesejahteraan dan kemakmuran rakyat . Oleh karena itu, sector pajak memegang peranan penting dalam perkembangan kesejahteraan bangsa. Negara melakukan pemungutan pajak karena banyaknya wajib pajak yang tidak patuh dalam membayar pajak merupakan suatu tantangan tersendiri.
Saat ini penyelesaian permasalahan sengketa di bidang perpajakan telah memiliki sarana, Dengan adanya pengadilan pajak. Sebelum pengadilan pajak berdiri, media yang digunakan untuk menyelesaikan masalah sengketa pajak adalah Majelis Pertimbangan Pajak yang kemudian berkembang menjadi Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.
1.2 Tujuan Penulisan
Secara umum dapat memerperluas wawasan pembaca dan menjadi referensi bagi pihak yang berkepentingan sehingga diharapkan tiak hanya mengetahui tetapi juga memahami aturan-aturan hokum perpajakan di Indonesia khususnya mengenai lembaga pengadilan pajak.
Secara khusus bertujuan sebagai berikut. Pertama, memaparkan kenyataan yang terjadi berhubungan dengan keberadaan Pengadilan Pajak sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah sengketa pajak. Kedua, menjelaskan dasar hukum apa saja yang berlaku sebagai lanasan perpajakan di Indonesia . ketiga, menguraikan searah perkembangan perpajakan di Indonesia yang berkaitan dengan masalah sengketa pajak dan penyelesaiannya.
BAB II
PEMBAHASAN
PERPAJAKAN DI INDONESIA DAN PERMASALAHAN SENGKETANYA
2.1 Sengketa Pajak dan Penyelesaiannya
Masalah sengketa pajak ini dari masa ke masa ditanggapi oleh pemerintah yang berkuasa dengan jalan lembaga penyelesaian sengketa pajak. Pada masa pemerintah Hindia-Belanda, di Negara ini telah ada badan penyelasaian sengketa pajak yang di bentuk dengan ordornansi 1915 (staatsblad Nomor 707) dengan nama Raad van het Beroep voor Belastingzaken (Badan Banding Administrasi Pajak) yang kemudian diganti dengan ordonansi 27 januari 1927, Staatsblad 1927 Nomor 29 tentang Peraturan Pertimbangan Urusan Pajak (Regeling van het Beroep Belastingzaken).
Selanjutnya lembaga tersebut oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1959 di ubah menjadi Majelis Pertimbangan pajak yang tugasnya member keputusan atas surat pemeriksaan banding tentang pajak-pajak Negara dan pajak-pajak daerah. Berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 1983, MPP diberlakukan sebagai badan peradilan pajak yang sah dan tidak bertentangan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 14 Tahun 1970. UU Nomor 6 Tahun 1983 mengatur hal ini dalam pasal 27 ayat (1) yang berbnyi sebagai berikut.
“Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.” Selanjutnya, ayat (2) pasal yang sama menyebutkan sebagai berikut, “Sebelum badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk,permohonan banding diajukan kepada Majelis Pertimbangan Pajak, yang putusannya bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara.”
Seiring berkembangnya aturan mengenai pajak dan semakin meningkatnya potensi sengketa pajak, MPP dianggap sudah tidak memadai dalam melakukan penyelesaian sengketa pajak. Oleh sebab itu, pemerintah merasa perlu membentuk lembaga peradilan di bidang perpajakan yang lebih komprehensif dan di bentuk melalui UndangUndang. Tujuannya adalah menjamin hak dan kewajiban pembayar pajak sesuai dengan Undang-Undang bidang perpajakan serta meberikan keputusan hukum atas sengketa pajak. Putusan lembaga peradilan pajak dapat dijadikan pedoman dalam melaksanakan undang-undang perpajakan sehingga ketentuan-ketentuan di dalamnya dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi semua pihak.
Maka, berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 di bentuklah Badan Penyelesaian Pajak yang arah tujuan pembentukannya adalah sebagai berikut.
a. BPSP bertugas memeriksa dan memutus sengketa pajak
b. Putusan BPSP bersifat finan dan mempunyai kekuasaan eksekutorial dan berkedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
c. Pengajuan banding atau gugatan ke BPSP merupakan upaya hukum terakhir bagi pembayar pajak dan putusannya. Tidak dapat di gugat ke peradilan umum atau Peradilan Tata Usaha Negara.
2.2 Dasar-dasar Hukum Pajak
Pajak merupakan sarana reformasi negara dalam meningkatkan kemandirian keuangan Negara, meningkatkan tingkat keadilan serta, progresivitas dari pungutan pajak itu sendiri. Pemungutan pajak beserta perangkat hukum untuk mengatur tata caranya merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Secara singkat dan tegas pernyataan tentang pajak tercantum dalam Amandemen Ketiga UUD 1945 Pasal 23A yang berbunyi, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan Undang-Undang.
Peraturan perundang-undangan mengenai pajak yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Nomor 6 Tahun 1983) yang telah direvisi melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Nomor 9 Tahun 1994). Karena merupakan saat dibentuknya sebuah aturan pajak nasional yang baru , maka tahun 1983 disebut sebagai tahun reformasi pajak.
Sebelum di bentuk dan diberlakukannya UU Nomor 6 Tahun 1983, dunia perpajakan di Negara ini mengenal asas-asas pemungutan pajak yang disebut “Tri Dharma Perpajakn”. Ketiga asas tersebut adalah sebagai berikut.
a. Bahwa pemungutan pajak harus adil dan merata yang meliputi subyek maupun obyek perpajakan. Sifatnya Universal atau nondiskriminatif.
b. Harus ada kepastian hukum mengenai pemungutan pajak. Dengan kepastian hukum yaitu bahwa sebelum pemungutan pajak dilakukan harus ada Undang-Undang terlebih dahulu.
c. Ketepatan waktu pemungutan pajak. Membayar dan menagih harus tepat pada waktunya.
Selanjutnya sejak UU Nomor 6 tahun 1983 berlaku sebagai Undang-Undang pajak nasional,asas-asas perpajakan yang melandasi ketentuan tersebut adalah seperti dibaeah ini.
a. kesederhanaan(simplification of law) Bahwa undang-undang tentang perpajakan agar disusun sesederhana mungkin sehingga mudah dimengerti isi maupun susunan kata-katanya.
b. Kegotong-royongan nasional Bahwa warga masyarakat harus berperan aktif dalam pemenuhan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kewarganegaraan.
c. Pelimpahan kepercayaan sepenuhnya.kewajiban perpajakan kepada wajib pajak sendiri,maksud pemberian kepercayaan diharapkan agar warga sadar akan kewajiban kenegaraan karena Negara sudah memberikan kepercayaan untuk menghitung,memperhitungkan,membayar pajaknya sendiri.
d. Adanya kesamaan hak dan kewajiban antara wajib pajak dan fiskus.
e. Kepastian dan jaminan hukum bahwa dalam pelaksanaan pemungutan pajak harus di hormati adanya asas-asas kebenaran dan asas praduga tak bersalah.
2.3 Dasar Hukum pengadilan pajak
Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak / Penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada. Pengadilan Pajak merupakan pengadilan tingkat pertama sekaligus terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak.
Kekuasaan Pengadilan Pajak dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak meliputi semua jenis sengketa pajak meliputi semua jenis sengketa pajak yg di pungut olehpemerintah pusat, termasuk Bea Masuk dan Cukai dan pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.4 Pelaksanaan Pengadilan Pajak di Indonesia
Pelaksanaan Pengadilan Pajak belum sepenuhnya berjalan lancer . Pada September 2004, seorang pengusaha mengajukan permohonan uji materiil atas UU Nomor 14 Tahun 2002 kepada Mahkamah Konstitusi. Pemohon merasa di rugikan oleh beberapa ketentuan yang terdapat dalam undang-undang tersebut dan beberapa pasal ia anggap bertentangan dengan UUD 1945.
Selain itu menurutnya, pengadilan pajak merupakan bentuk penggabungan kekuasaan yudikatif di bawah legislative. Ia berpendapat bahwa undang-undang ini memuat materi yang melegitimasi kekuasaan pemikiran terhadap warga Negara. Oleh karena itu, perlu ada kontrol atau pengawasan dari legislative dan yudikatif terhadap pengadilan pajak. Hakim-hakim Pengadilan pajak ia nilai belum diawasi secara baik sehingga warga ngara selaku wajib pajak sering dikorbankan. Sebaliknya, ketergantungan hakim-hakim tersebut pada Menteri keuangan harus diutus agar dapat independen dalam memutus sengketa pajak.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sejak 1959, pemerintah telah memiliki badan peradilan pajak yaitu Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) yang selanjutnya diganti dengan badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) pada 1997. Akan tetapi, lembaga-lembaga tersebut belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu badanperadilan pajak yang sesuai dengan system kekuasaan kehakiman yang berlaku di Indonesia. Sekaligus mampu menciptakan keadilan dan kepastian hokum dalam penyelesaian sengketa pajak, maka dibentuklah Pengadilan Pajak pada 2002.
Pelaksanaan Pengadilan Pajak sebagai sebuah badan peradilan sengketa pajak yang independen belum sepenuhnya terwujud. Banyak pihak berpendapat dasar hokum yang menjadi landasan Pengadilan Pajak belum memenuhi rasa keadilan masyarakat, dalam hal ini para wajib pajak. Selain itu, beberapa pasal juga di khawatirkan belum sesuai dengan amanat UUD 1945
DAFTAR PUSTAKA
Handoko,Rukiah.Pengantar Hukum Pajak:seri Buku Ajar. DEPOK: Fakultas Hukum Universitas Indonesia,2000
www.google.com
MUSIK ONE STOP
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar